Kenangan Sang Jurnalis : Nyaris Jatuh di Gerbong Kereta



Maruti Asmaul Husna Subagyo. Perempuan kelahiran Bengkulu ini kini sedang mengenyam pendidikan tinggi jenjang magister di jurusan kajian budaya dan media sekolah pasca sarjana UGM. Sebelum memutuskan untuk lanjut ke pendidikan magister, Maruti atau yang sering disapa dengan Uti ini pernah bekerja selama satu tahun sebagai seorang wartawan di sebuah perusahaan surat kabar harian terkemuka di Indonesia, yakni Jawa Pos.
Kisah perjalanan karirnya cukup unik. Setelah berhasil menyelesaikan jenjang sarjananya di Teknik Arsitektur, Uti justru mengambil kesempatan bekerja sebagai wartawan Jawa Pos yang pada saat itu memang sedang ada lowongan pekerjaan. Rupanya, bakat wartawan ini memang sudah dimiliki Uti sejak lama. Selama kurang lebih 5 tahun semasa kuliah, Uti aktif berkecimpung di sebuah organisasi media kampus. Tak heran bila kemudian setelah lulus Uti cukup bisa dikatakan telah berpengalaman sebagai wartawan dan layak untuk bisa diterima dan bekerja di Harian Jawa Pos.
Uti diterima bekerja pada bulan Maret. Hal ini sesuai sekali dengan salah satu mimpinya semasa kuliah, yakni ia ingin menjadi seorang wartawan profesional di media yang sudah kredibel. Ketika ditanya alasan terkuat apa yang membuatnya memutuskan untuk terjun di bidang media dan jurnalistik, jawabannya adalah karena kegelisahan. Uti mengaku merasa bagitu gelisah ketika melihat banyak berita di Indonesia yang meresahkan hati masyarakat. Uti merasa prihatin ketika melihat masih sangat sedikit orang baik yang mengisi tempat kosong di bidang media dan jurnalistik. Dari kegelisahan inilah kemudian Uti memutuskan untuk fokus dan terjun ke dunia media dan jurnalistik.
Perjalanan sebagai wartawan pun dimulai. Uti mengaku, setiap kejadian sepanjang satu tahun masa kerjanya sebagai wartawan adalah hal yang menarik dan sangat indah untuk dikenang. Mulai dari hal-hal yang kecil seperti ketika ia harus menulis di dalam kereta yang kondisinya sangat sesak, dalam keadaan berdiri sampai miring-miring bahkan nyaris terjatuh. Uti juga menceritakan bagaimana ia harus rela menulis di antara derasnya hujan, ditemani ramai kendaraan yang lalu lalang. Terkadang bahkan harus duduk di emperan toko untuk sekadar berteduh dan menyelesaikan sebuah tulisan. Dari hal-hal kecil seperti inilah kemudian Uti belajar bahwasannya menulis dapat dilakukan di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Dari pengalaman itu juga Uti menyimpulkan bahwa sebetulnya menulis tidak sesulit yang selama ini kita bayangkan. Asal ada kemauan dan tekad yang kuat, kita pasti bisa menulis. Hal-hal kecil seperti tadi juga membentuk mental Uti menjadi sosok perempuan yang tahan banting dan memiliki struggle besar dalam mencapai target yang telah ditentukan oleh perusahaan. Sehingga, tak ada kata menunda menulis dalam kamus kehidupan Uti.
Selain beberapa kejadian kecil tadi, ada satu kejadian yang begitu melekat di pikiran Uti hingga sekarang, yakni pengalamannya saat meliput seorang tokoh pencipta jaket anti kanker, Pak warsito. Secara singkat Uti menceritakan, jaket anti kanker yang diciptakan oleh Pak Warsito sudah cukup luas tersebar di kalangan masyrakat. Beberapa pihak bahkan mengaku sembuh setelah menggunakan jaket tersebut. Akan tetapi, terjadi sebuah konflik dimana kementerian kesehatan Indonesia belum bisa mendukung karya ini untuk dimasifkan ke masyarakat secara luas. Beberapa dokter pun cenderung kurang mendukung penerapan jaket tersebut di masyarakat. Karena bagi mereka yang terpenting masihlah pengobatan secara medis, seperti contohnya kemoterapi. Mendengar hal ini, Uti cukup merasa kecewa dengan konflik tersebut karena sangat disayangkan sekali karya yang sudah besar dan cukup memberi dampak yang signifikan ternyata masih mengalami ganjalan-ganjalan dari pihak industri. Uti juga bercerita pada saat meliput, ada salah seorang wartawan yang mengajukan pertanyaan kepada Pak Warsito, “Apakah Bapak akan ke luar negri jika karya ini tidak diterima di Indonesia?” lantas Pak Warsito menjawab, “Kalau di luar negri saya hanya akan jadi bintang di antara langit yang sudah terang. Tapi kalo di Indonesia saya bisa jadi salah satu bintang yang paling terang di antara langit malam yang masih gelap dan juga bisa menginspirasi banyak anak muda Indonesia lainnya untuk berkarya besar.”
Ketika ditanya lebih dalam soal jurnalistik, Uti mengaku bahwa yang terpenting ketika menjadi seorang jurnalis adalah menulis dengan hati nurani. “Saya sadar sesadar-sadarnya kalau yang namanya berita itu tidak mungkin bisa seratus persen objektif. Tidak mungkin bisa seratus persen netral. Hanya omong kosong aja kalau misalnya ngomong berita di media nasional atau internasional itu objektif atau netral gitu. Pasti selalu ada bias di dalam suatu pemberitaan gitu kan. Tapi ya itu tadi. Seorang jurnalis harus lebih menulis menggunakan hati nuraninya, lebih adil dan bijak dalam pikiran.” Sedikit mengutip dari Pramoedya Ananta Toer, Uti menambahkan, “Walaupun  banyak pihak-pihak lain yang mencoba mengintervensi tulisan kita, tapi jurnalis yang baik adalah yang bisa melawan itu semua. Kuat untuk menulis tanpa adanya intervensi pihak-pihak yang mencoba untuk menyelewengkan satu fakta. Ya, itulah salah satu risiko menjadi seorang jurnalis. Keberanian untuk mengungkapkan fakta.”

Comments

Popular posts from this blog

Catatan Rumah Kepemimpinan 15: Menjadi Pasangan Strategis, Kenapa Tidak?

Kenangan Ramadhan 1 : Tidak Jadi ke Solo, Ini Gantinya!

Kisah Inspiratif Spesial Ramadhan : Keajaiban Istighfar